Meski
nasihat-nasihat, imbauan-imbauan para ulama, ustadz-ustadzah tentang Valentine
selalu didengungkan tiap bulan Februari, tapi ternyata masih banyak orang tua
para remaja yang masih berpemahaman salah tentang Valentine’s Day. Valentine
hanya dianggap sebagai budaya remaja modern saja. Padahal ada bahaya besar di
balik Valentine yang siap menerkam para remaja. Ini yang tidak disadari para
orang tua.
Tiap bulan
Pebruari remaja yang notabene mengaku beragama Islam ikut-ikutan sibuk
mempersiapkan perayaan Valentine. Walau banyak ustad-ustazah memperingatkan
nilai-nilai akidah Kristen yang dikandung dalam peringatan tersebut, namun hal
itu tidak terlalu dipusingkan mereka. "Aku ngerayain Valentine kan buat
fun-fun aja...." begitu kata mereka.
Tanggal 14
Pebruari dikatakan sebagai ‘Hari Kasih Sayang’. Apa benar? Mari kita tilik
sejarahnya.
Siapakah
Valentine?
Tidak ada
kejelasan, siapakah sesungguhnya yang bernama Valentine. Beragam kisah dan
semuanya hanyalah dongeng tentang sosok Valentine ini. Tetapi setidaknya ada
tiga dongeng yang umum tentang siapa Valentine.
Pertama, St
Valentine adalah seorang pemuda bernama Valentino yang kematiannya pada 14
Pebruari 269 M karena eksekusi oleh Raja Romawi, Claudius II (265-270).
Eksekusi yang didapatnya ini karena perbuatannya yang menentang ketetapan raja,
memimpin gerakan yang menolak wajib militer dan menikahkan pasangan muda-mudi,
yang hal tersebut justru dilarang. Karena pada saat itu aturan yang ditetapkan
adalah boleh menikah jika sudah mengikuti wajib militer.
Kedua,
Valentine seorang pastor di Roma yang berani menentang Raja Claudius II dengan
menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan dan menolak menyembah dewa-dewa Romawi. Ia
kemudian meninggal karena dibunuh dan oleh gereja dianggap sebagai orang suci.
Ketiga,
seorang yang meninggal dan dianggap sebagai martir, terjadi di Afrika di sebuah
provinsi Romawi. Meninggal pada pertengahan abad ke-3 Masehi. Dia juga bernama
Valentine.
Ucapan ”Be My
Valentine”
Ken Sweiger
dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan kata
“Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha
Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan
orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta
orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang
dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan
budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut syirik, artinya
menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala. Adapun Cupid (berarti: the desire), si
bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari.
Disebut Tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun
berzina dengan ibunya sendiri!
Tradisi
penyembah berhala
Sebelum masa
kekristenan, masyarakat Yunani dan Romawi beragama pagan yakni menyembah banyak
Tuhan atau Paganis-polytheisme. Mereka memiliki perayaan/pesta yang dilakukan
pada pertengahan bulan Pebruari yang sudah menjadi tradisi budaya mereka. Dan
gereja menyebut mereka sebagai kaum kafir.
Di zaman
Athena Kuno, tersebut disebut sebagai bulan GAMELION. Yakni masa menikahnya
ZEUS dan HERA. Sedangkan di zaman Romawi Kuno, disebut hari raya LUPERCALIA
sebagai peringatan terhadap Dewa LUPERCUS, dewa kesuburan yang digambarkan
setengah telanjang dengan pakaian dari kulit domba.
Perayaan ini
berlangsung dari 13 hingga 18 Pebruari, yang berpuncak pada tanggal 15. Dua
hari pertama (13-14 Februari) dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of
Feverish Love) Juno Februata. Di masa ini ada kebiasaan yang digandrungi yang
disebut sebagai Love Lottery/Lotre pasangan, di mana para wanita muda
memasukkan nama mereka dalam sebuah bejana kemudian para pria mengambil satu
nama dalam bejana tersebut yang kemudian menjadi kekasihnya selama festival
berlangsung. Seiring dengan invasi tentara Roma, tradisi ini menyebar dengan
cepat ke hampir seluruh Eropa.
Hal ini
menjadi penyebab sulitnya penyebaran agama Kristen yang saat itu tergolong
sebagai agama baru di Eropa. Sehingga untuk menarik jemaat masuk ke Gereja maka
diadopsilah perayaan kafir pagan ini dengan memberi kemasan kekristenan. Maka
Paus Gelasius I pada tahun 469 M mengubah upacara Roma Kuno Lupercalia ini
menjadi Saint Valentine's Day.
Ini adalah
upaya Gelasius menyebarkan agama kristen melalui budaya setempat. Menggantikan
posisi dewa-dewa pagan dan mengambil St Valentine sebagai sosok suci lambang
cinta. Ini adalah bentuk sinkretisme agama, mencampuradukkan budaya pagan dalam
tradisi Kristen. Dan akhirnya diresmikanlah Hari Valentine oleh Paus Gelasius
pada 14 Pebruari di tahun 498.
Bagaimanapun
juga lebih mudah mengubah keyakinan masyarakat setempat jika mereka dibiarkan
merayakan perayaan di hari yang sama hanya saja diubah ideologinya. Umat
Kristen meyakini St Valentino sebagai pejuang cinta kasih. Melalui kelihaian
misionaris, Valentine’s Day dimasyarakatkan secara internasional.
Jelas sudah,
Hari Valentine sesungguhnya berasal dari tradisi masyarakat di zaman Romawi
Kuno, masyarakat kafir yang menyembah banyak Tuhan juga berhala. Dan hingga
kini Gereja Katholik sendiri tidak bisa menyepakati siapa sesungguhnya St
Valentine. Meskipun demikian perayaan ini juga dirayakan secara resmi di Gereja
Whitefriar Street Carmelite di Dublin-Irlandia.
Valentin di
Indonesia
Valentine’s
Day disebut ‘Hari Kasih Sayang’, disimbolkan dengan kata ‘LOVE’. Padahal kalau
kita mau jeli, kata ‘kasih sayang’ dalam bahasa inggris bukan ‘love’ tetapi
‘Affection’. Tapi mengapa di negeri-negeri muslim seperti Indonesia dan
Malaysia, menggunakan istilah Hari Kasih Sayang. Ini penyesatan.
Makna ‘love’
sesungguhnya adalah sebagaimana sejarah GAMELION dan LUPERCALIA pada masa
masyarakat penyembah berhala, yakni sebuah ritual seks/perkawinan. Jadi
Valentine’s Day memang tidak memperingati kasih sayang tapi memperingati
love/cinta dalam arti seks. Atau dengan bahasa lain, Valentine’s Day adalah
HARI SEKS BEBAS.
Dan pada
kenyataannya tradisi seks bebas inilah yang berkembang saat ini di Indonesia.
Padahal di Eropa sendiri tradisi ini mulai ditinggalkan. Maka, semua ini adalah
upaya pendangkalan akidah generasi muda Islam.
Inilah yang
dikatakan Samuel Zweimer dalam konferensi gereja di Quds (1935): “Misi utama
kita bukan menghancurkan kaum Muslim. Sebagai seorang Kristen tujuan kalian
adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai
dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas yang hanya mengejar kepuasan hawa
nafsu”.
0 komentar:
Posting Komentar